Minggu, 17 Februari 2008

RM Sederhana

RM Sederhana yang Memberi Kemewahan

Rumah Makan

Berbekal catatan resep masakan Padang yang dia minta dari seorang juru masak, Bustaman berhasil mengembangkan RM Padang Sederhana dan bahkan sampai membuat waralabanya. Kini waralaba itu sudah sampai ke Malaysia. Untuk memayungi usahanya, Bustaman membentuk PT Sederhana Citra Mandiri serta mematenkan logo dan resep makanannya. Sayang tak satu pun anaknya berniat meneruskan usaha ini.

Lahir dari keluarga miskin dan ditinggal berpulang ke alam baka oleh ibundanya saat usia enam tahun, Bustaman kecil tak pernah membayangkan kehidupannya bakal seperti sekarang ini. Bisa naik haji dan bahkan menikmati liburan ke berbagai negara di Eropa. Ini dia akui jauh di luar mimpi-mimpinya.

Inilah buah yang dia nikmati dari keberhasilannya mengembangkan restoran Padang atau yang lebih akrab dikenal dengan rumah makan (RM) Padang bermerek "Sederhana". Di tangannya kini telah dikelola 15 RM Sederhana, sedangkan 15 restoran lagi berada di tangan pihak lain. Bahkan, untuk lebih memformalkan usahanya, kini Bustaman sedang membentuk badan usaha perseroan terbatas sebagai payung bagi seluruh restorannya. Itulah PT Sederhana Citra Mandiri (SCM). "Dengan membentuk perseroan terbatas ini, rumah makan saya ini akan bisa terkelola secara profesional," begitu harapannya.

Ibarat seorang pendaki, bagi Bustaman, PT SCM adalah puncak dari sejarah pendakiannya yang panjang, terjal, bahkan terkadang membahayakan jiwanya. Ia tidak mau menempuh jalan pintas yang ia sendiri tak menguasai ilmu dan tak memiliki pengalaman untuk itu. Maka sampai kapan pun, Bustaman telah berikhtiar akan tetap mengembangkan jalur bisnis rumah makan masakan Padang- nya.

Perjuangan Bustaman yang kini telah menyandang gelar haji ini dimulai ketika dia hidup dan tinggal bersama pamannya di Jambi selama lima belas tahun. Bustaman kecil yang lahir di Lintau, Batusangkar, Sumatra Barat, 60 tahun lalu itu sudah harus bekerja keras. Tak mau terlalu menyusahkan pamannya, Bustaman berusaha menghidupi dirinya dengan berjualan pisang goreng, menjadi kernet oplet, bahkan bekerja di kebun karet. Semua itu dilakoninya sebelum akhirnya ia hijrah ke Jakarta pada tahun 1970 dan tinggal bersama saudaranya yang bersuamikan seorang sopir taksi.

Dengan modal Rp27.000 Bustaman memulai usahanya di Jakarta sebagai pedagang asongan. Dengan tekadnya yang bagaikan "api nan tak kunjung padam", Bustaman mulai membuka usaha warung makan kecil-kecilan di atas sebuah gerobak di kawasan Bendungan Hilir. Di situ, Bustaman dan teman-temannya sesama pedagang kaki lima pun harus main kucing-kucingan dengan para petugas keamanan dan ketertiban (kamtib). Hingga akhirnya mereka terpaksa pindah tempat ke kawasan Roxy, yang sekarang dikenal dengan Roxy Mas. Tak lama di Roxy, lagi-lagi Bustaman harus mengungsi ke tempat lain, lantaran kawasan pedagang kaki lima ini pun dibongkar.

"Masa-masa itu adalah masa yang teramat sulit dan menuntut banyak pengorbanan. Tantangan bukan hanya dari petugas kamtib, tapi juga para preman yang kala itu bisa dianggap sebagai musuh utama para pedagang," kenang Bustaman.

Namun, bagi Bustaman, justru saat itu pula ada satu kenangan yang paling membekas dan paling tak terlupakan seumur hidupnya. "Sebelum pindah dari Roxy, saya sempat mencicipi masakan gulai dari warung makan Padang di sebelah warung makan saya. Rasanya enak sekali, jauh lebih enak dibandingkan masakan saya. Dan di suatu sore, saya dekati tukang masaknya, saya ajak kenalan. Dan ternyata orangnya sangat baik, ia mau menuliskan resep masakannya buat saya," tutur Bustaman, yang baru pulang dari perjalanan wisatanya ke sejumlah negara di Eropa. Setelah wawancara dengan Warta Ekonomi, Bustaman juga akan segera berangkat lagi ke Malaysia dalam urusan rumah makannya.

Bustaman pun tak lupa mengungkapkan kerinduannya pada orang yang memberinya resep itu. "Kalau bertemu dia, mungkin saya akan memberangkatkan dia untuk naik haji, atau memintanya sebagai penasihat saya," katanya mengungkap hasratnya. Soalnya, dengan bekal resep itulah, Bustaman, yang mengaku pada awalnya hanya bermodal kemauan saja, mulai tergugah untuk lebih menekuni usaha warung makannya.

"Saya olah lagi resep ini agar bisa dinikmati oleh semua orang, bukan hanya oleh orang Padang. Jadi, saya buat tidak terlalu pedas," papar ayah enam orang anak dan kakek dari enam orang cucu ini. Salah satu olahan resepnya yang kini menjadi masakan favorit para pelanggannya adalah "ayam pop", ayam goreng tanpa kulit dan tetap berwarna putih sesuai warna kulit ayam aslinya.

Resep-resep olahannya itu mulai ia gunakan ketika membuka warung makan permanennya yang pertama di Pasar Inpres Bendungan Hilir pada tahun 1974, yang ia beli dengan bantuan kredit dari sebuah bank. Seiring dengan berjalannya waktu dan berkat keuletannya, RM Sederhana telah "berkembang biak" hingga berjumlah 30 buah. Satu di antaranya berada di Surabaya. "Namun yang saya kelola sendiri ada lima belas.

Sisanya dikelola oleh keponakan-keponakan dan adik ipar saya," tutur Bustaman.

Namun, dalam ke-30 rumah makan itu belum termasuk RM Sederhana yang ada di Malaysia yang telah dibuka tahun ini. Bahkan, dalam waktu dekat, satu restoran lagi akan segera menyusul dibuka di negara yang sama. "Kedua rumah makan ini memang bukan milik saya. Yang satu punya orang Malaysia, dia yang kelola, saya cuma sediakan karyawannya. Selebihnya saya cuma mendapat fee dengan sistem waralaba. Satunya lagi punya keponakan saya," jelas Bustaman.

Khusus untuk rumah makan yang dikelolanya, Bustaman menerapkan sistem bagi hasil yang biasanya dibagikan setiap tiga bulan sekali. Inilah yang menurutnya menjadi kunci loyalitas 300 orang karyawannya yang juga telah ikut merasa memiliki usaha ini.

Sayangnya, Bustaman tak mau mengungkapkan omzet usahanya sekarang. "Cuma kalau omzet harian setiap rumah makan saya, kurang lebihnya dua sampai tiga juta rupiah," akunya. Bustaman yakin, usahanya ini tak akan lekang oleh waktu dan gaya hidup masyarakat kita yang mulai dibanjiri oleh makanan fast-food dari luar negeri.

"Makanan sejenis itu kan hanya makanan ringan, makanan kecil yang hanya dinikmati sambil berekreasi, bukan makanan pokok yang memang dimakan pada waktunya kita makan," tegas Bustaman.

Yang dirasakan oleh Bustaman saat ini justru tantangan dari dalam, yaitu banyaknya "RM Sederhana" di mana-mana, yang kebanyakan dimiliki oleh mantan-mantan karyawannya sendiri. Yang dikhawatirkan oleh Bustaman adalah adanya "RM Sederhana" yang rasa masakannya "tak karuan". Dia khawatir hal itu akan merusak citra dan kesetiaan pelanggan rumah makannya.

Soal lainnya adalah regenerasi. "Hampir tak ada usaha rumah makan Padang yang mampu bertahan sampai dua generasi. Anak saya sendiri tak ada yang berminat terjun di usaha ini," ujar Bustaman miris. Ia pun menyebutkan sejumlah nama restoran Padang yang sempat populer beberapa tahun lalu.

"Untuk itulah, atas saran teman-teman, saya buat PT SCM ini. Dengan usaha yang sudah berbentuk badan hukum, saya akan bisa 'menertibkan' semuanya ini. Tujuan lainnya, agar kita siap menghadapi perdagangan bebas dan era globalisasi," tegas Bustaman, yang juga mengaku ikut senang jika ada koki atau bekas juru masaknya sukses membuka usaha warung makan sendiri.

Lebih jauh, Bustaman juga mengungkapkan kalau dia telah mendaftarkan hak paten berupa logo, warna, dan gambar lengkung yang menjadi ciri khas RM Sederhana miliknya.

Puaskah Bustaman kini? "Saya mendirikan PT SCM ini dengan niat baik. Insya Allah, semuanya akan berjalan dengan baik. Dan saya tidak punya misi atau niat untuk terjun di bisnis lain, tanpa saya sendiri tahu ilmunya dan punya pengalaman di bidang itu. Apalagi umur saya sudah hampir 60 tahun," ujarnya. Dengan dibentuknya badan usaha resmi PT SCM, Bustaman menjadi yakin warisannya yaitu RM Sederhana akan lestari. Mungkin bukan diteruskan oleh anak-anaknya melainkan oleh orang lain yang telah mendapatkan lisensi waralabanya.

Tidak ada komentar:

Google