Minggu, 17 Februari 2008

Kiat Ade

ADE RACHMAWATI DEVI Boks Wawancara

"Saya tidak Bergaya Bos" Selain berani mengambil risiko dalam berusaha, Ridwan juga berani memecat bawahannya apabila dianggap salah. Kendati demikian, Ridwan juga berani memberi kebebasan terhadap para karyawannya dari berbagai bentuk formalitas. Syaratnya, pekerjaannya sudah dibereskan. Berikut petikan wawancaranya. Warta Ekonomi: Apa strategi atau kiat bisnis yang Anda jalankan? Ridwan Prasetyarto:

Kiatnya sebenarnya simple, yaitu mencoba men-deliver produk sebagus mungkin, seluas dan sepopuler mungkin. Dasarnya mungkin hanya itu, tetapi jika ingin dikembangkan lagi kunci pertama adalah kita pilih produk yang trennya itu bukan sekarang tetapi nanti. Kita juga harus bisa memprediksi kira-kira produk apa yang akan booming di pasar. Hal yang kedua, kita harus berfokus. Kalau sudah memilih, kita harus berfokus, jangan melihat ke mana-mana. Harus berani menolak godaan, misalnya menerima tawaran

proyek. Kalau kita layani mungkin sesaat akan beruntung, tetapi dalam jangka panjang kita tidak punya cerita lagi. Bagaimana pola yang digunakan dalam pendekatan terhadap karyawan? Saya berusaha memimpin dengan gaya yang tidak kelihatan seperti seorang bos. Dalam banyak hal, saya harus memberikan contoh yang sama kepada mereka. Misalnya, salah satu kasus dari produk. Pekerjaan dari produk itu adalah testing. Saya tidak hanya meminta hasil jadi suatu produk, tetapi saya juga ikut melakukan tes terhadap pembuatan produk itu. Kadang kala justru sayalah yang paling banyak mengetes.

Namun, di sisi lain saya juga mencoba berimbang. Misalnya, formalitas seperti jam kerja, cara berpakaian, bersikap di kantor, tidak terlalu saya atur. Saya cukup memberikan kebebasan kepada mereka dalam hal-hal demikian. Saya juga memberikan reward dan punishment kepada mereka. Jika mereka memberikan kontribusi yang cukup besar bagi kemajuan perusahaan, maka mereka akan diberi kesempatan untuk bisa memiliki saham. Namun jika mereka melakukan kesalahan fatal, tentu saja akan diberi sanksi. Bahkan saya pernah memecat beberapa karyawan. Apa tantangan terberat dalam mengelola perusahaan ini? Secara ideal adalah mengubah citra karena visi perusahaan kami adalah bagaimana membuat produk kami bisa berkompetisi di tingkat internasional. Sampai saat ini masih banyak orang menertawakan ide kami ini, tetapi saya tidak peduli. Yang penting saya tetap berusaha bisa membuktikan bahwa ide kami bukanlah suatu hal yang mustahil. Masih sempat menyalurkan hobi saat waktu luang? Waktu luang saya memang

sangat terbatas karena kami mempunyai dua kantor di Jakarta dan Bandung. Saya memang termasuk orang yang hobi bekerja. Selain itu, saya tidak memiliki hobi khusus karena saya termasuk orang yang generalis. Dari sekian banyak hobi saya, yang masih saya lakoni sampai saat ini adalah bermain violin.

Hadiah dan Keuntungan

Mengemas Hadiah, Meraup Untung

Bisnis kado perusahaan (corporate gift) makin dibutuhkan, tak terkecuali di masa krisis. Michael Gan dan Steve Lie melihat peluang ini dan membuatnya menjadi bisnis utama PT Multiharapan Sukses Makmur. Kini mereka juga telah masuk ke Singapura dan Malaysia.

Pernah mendapatkan hadiah (gift) dari perusahaan? Sudah makin lazim perusahaan-perusahaan besar memberikan hadiah bagi pelanggan atau mitra usahanya berupa jam (jam saku, jam tangan, atau jam meja), kalkulator, bolpoin, gantungan kunci, dan sebagainya, yang semuanya dilabeli nama perusahaan pemberi. Kalau ya, ketahuilah bahwa hampir pasti gift itu hasil karya PT Multiharapan Sukses Makmur. "Hingga kini, baru kami satu- satunya perusahaan yang khusus bergerak di bidang corporate gift ini," ungkap Steve Lie, direktur Multiharapan. Saat itu, sekitar pertengahan tahun 1997, Steve Lie dan Michael Gan (CEO dan chairman Multiharapan) menangkap sebuah peluang bisnis baru yang menjanjikan. Itulah bisnis yang bergerak di bidang penyediaan hadiah insentif (incentive gift) perusahaan kepada para pelanggan atau konsumennya. Pada waktu itu, menurut Michael dan Steve, belum ada satu perusahaan pun yang menggarap lahan tersebut.

Biarpun saat itu badai krisis lagi kencang melanda Indonesia, mereka tetap berkukuh untuk segera memulainya. Ada keyakinan dalam diri mereka bahwa meskipun krisis, tetap saja ada perusahaan yang membutuhkan barang-barang promosi (promotion items). Apalagi mereka mengetahui bahwa di Jakarta belum ada perusahaan yang mengkhususkan diri di sektor ini. Kalaupun ada yang sudah lebih dahulu beroperasi, tetapi skalanya masih terlalu kecil. "Akibatnya, mereka selalu terbentur ketika ada pesanan incentive gift dalam jumlah besar. Mereka tidak punya stok barang dan jangka pemesanannya minimal 1,5 bulan sebelumnya," urai Steve.

Dari hasil "riset" pasar ini, mereka berdua kemudian mendirikan PT Multiharapan Sukses Makmur dengan segala keterbatasannya. Multiharapan pun kemudian mulai menggarap pasar potensial yang dimiliki Jakarta. Mereka mengedepankan kualitas barang dan juga menjaga stok barang. Hal ini dilakukan untuk menghindari larinya pemesan yang ternyata tidak bisa memperoleh barang yang diinginkannya hanya karena tidak ada stok.

Pada awal berdirinya, Multiharapan hanya mempunyai 10 macam barang (item), dengan jumlah persediaan sebanyak 10.000 buah (piece). Namun, seiring dengan berjalannya waktu, perusahaan ini pun makin disempurnakan. Bahkan setelah memiliki mesin cetak sendiri, hal itu makin memudahkan proses pembuatan barang. Didukung oleh empat orang desainer yang secara inovatif terus memunculkan ide-ide baru, Multiharapan sampai sekarang sudah memiliki 400 macam barang. Di antaranya, jam tangan, kalkulator, dan juga gift set yang berisi tujuh macam barang yang ditempatkan di dalam sebuah kotak eksklusif.

Ternyata keyakinan dua orang bersahabat ini tidak meleset. Pemesan corporate gift, baik perusahaan lokal maupun perusahaan multinasional, terus mengalir ke Multiharapan. Hingga kini Multiharapan telah memasok corporate gift ke Jakarta Stock Exchange (BEJ), ABN-Amro Bank, IBM, Satelindo, Indosat, dan Visa International. "Mereka ini termasuk pemesan yang rutin setiap tahunnya," ungkap Steve.

Komitmen kepada Pelanggan

Keberhasilan Multiharapan menggaet pelanggan dari kalangan perusahaan besar itu merupakan refleksi keberhasilan dua sahabat, Michael dan Steve. Kini mereka tidak hanya beroperasi di dalam negeri tetapi juga sudah merambah ke luar negeri. Satu tekad Multiharapan yaitu terus berupaya mendukung klien dalam memajukan usahanya. Karena itulah Multiharapan terus melakukan inovasi untuk mendapatkan desain barang yang makin menarik, kompetitif dalam harga, dan kualitas barang yang terjamin, serta tepat waktu dalam pengadaan. "Untuk itu, kami telah memiliki tiga buah armada delivery box," ungkap Steve.

Demi menjamin kesempurnaan barang yang dijadikan hadiah, Multiharapan pun memperketat pengecekan setiap barang. Contohnya, jam tangan, mereka datangkan langsung dari Hong Kong. Pemeriksaan dilakukan setiap lima buah. Barang-barang itu pun didatangkan satu per satu sehingga memungkinkan untuk mengadakan pengecekan yang serius. "Mungkin itulah yang membuat para pelanggan kami puas sehingga mereka kembali lagi memesan," ujar Steve.

Namun, Michael tidak 100% mendatangkan barang itu dari luar negeri. Hingga kini, proporsi antara barang luar dan barang lokal masih 50%:50%. "Untuk barang lokal, kami bekerja sama dengan para pengusaha kecil menengah di lingkup Jakarta," kata Steve. Barang-barang dari Hong Kong itu adalah hasil produksi perusahaan mereka juga. Untuk menjamin ketersediaan barang itu, Multiharapan kini memiliki gudang yang terletak di Cideng, Jakarta Pusat, di bawah pengawasan supervisor.

Dengan adanya persediaan yang cukup maka untuk pesanan sebanyak 200-500 buah tidak perlu lagi harus memesan barang lebih dahulu karena sudah ada stok. "Pemesanan dilakukan kalau harus memenuhi pesanan di atas 500 piece," ujar Steve.

Steve menggambarkan kedekatan antara Multiharapan dan para klien layaknya seorang sahabat. Tenaga pemasar yang mendekati kliennya juga lebih banyak berbincang dan menganggap mereka sebagai teman. Jadi, segala pesanan itu didiskusikan secara terbuka dan disesuaikan dengan kegiatan perusahaan. "Ini penting karena gift itu menyangkut image perusahaan," tandas Steve.

Multiharapan kini didukung oleh 20 orang tenaga pemasar yang andal. Berkat keandalan mereka itu pula maka pada saat puncak krisis, 1998, Multiharapan seakan melawan arus. Kalau saat itu kebanyakan perusahaan mengambil langkah merumahkan karyawan, Multiharapan justru terus merekrut tenaga pemasar baru. "Pokoknya, kita nggak pernah stop deh masalah recruitment," ujar Youngky F. Cader, group sales head Multiharapan. Bicara masalah persaingan, Multiharapan tidak pernah merasa punya pesaing di dalam

menjalankan bisnis ini. Mereka justru menganggap saingan terberat datang dari diri mereka sendiri.

Multiharapan juga mengklaim bahwa mereka bisa dijadikan sebagai ajang one-stop shopping karena, di samping memberikan konsultasi dalam menentukan jenis dan bentuk produk yang akan dipesan sesuai dengan anggaran yang dimiliki, mereka juga memberi pelayanan after sales service. Hal itu dimaksudkan apabila suatu hari ada kerusakan pada produk, konsumen bisa membawanya ke Multiharapan untuk direparasi karena semua produk yang dihasilkan memang bergaransi.

Harga produk terendah yang ditawarkan sebesar Rp1.000 berupa bolpoin plastik dan harga tertinggi sebesar Rp1.500.000 berupa gift set berisi tujuh macam barang. Produk itu, antara lain, jam tangan dan ikat pinggang, yang biasanya dipesan sebanyak 200 buah untuk para menteri dan gubernur seluruh Indonesia. Steve mengakui bahwa pada awal tahun, sekitar bulan Januari-Februari, bukanlah waktu yang ramai dengan pemesanan. Justru pertengahan hingga akhir tahunlah perusahaan beramai-ramai memesan corporate image product mereka. Bahkan bisa dibilang, pada saat- saat seperti itulah Multiharapan panen rezeki, biarpun ada juga pemesanan rutin per bulan hingga mencapai Rp300 juta.

Peluang masih Besar

Steve juga melihat bahwa pasar di Jakarta, bahkan di seluruh Indonesia, masih sangat luas. "Potensi pasar kita masih sangat besar," ungkapnya. Namun, hingga kini, Multiharapan masih memenuhi seluruh pesanan pelanggan dari Jakarta alias belum punya cabang. Jadi, untuk perusahaan di Jakarta, umumnya langsung dipesan oleh kantor pusat/cabangnya di Jakarta.

Meski pasar lokal masih luas, Multiharapan tampaknya tidak bertumpu di satu negara. Sejak tahun 2000 lalu, Multiharapan mulai melebarkan sayap usaha mereka ke Singapura dan Malaysia. Di negara tetangga ini mereka memiliki masing-masing satu kantor cabang. Namun, Steve mengakui bahwa hingga kini pasar lokal masih mendominasi pendapatan perusahaan. Perbandingan antara pendapatan dari pasar domestik dan di luar negeri masih 85%:15%.

Menurut pengakuan Steve, cabang di Singapura telah berhasil menggandeng sembilan perusahaan pelanggan. Ia menambahkan, ada perbedaan karakteristik yang jelas antara pasar lokal dan pasar luar negeri. "Di pasar lokal banyak pelanggannya tetapi jumlah pesanannya kecil-kecil, sedangkan kalau di Singapura pesanannya dalam partai besar, karena dari Singapura mereka kirim ke anak usahanya di Thailand atau seputar Asia-Pasifik hingga ke India," ungkapnya. Bahkan, tutur Steve, ada sebuah bank di Singapura yang memesan incentive gift yang dikirimkan ke Indonesia sebagai promosi besar-besaran mereka.

Masa-masa sulit telah dilalui. Kini bayang-bayang sukses sudah menghampiri Multiharapan. Dari hanya 14 orang karyawan pada awal berdirinya, kini jumlahnya sudah mencapai 200 orang. Sekarang mereka memiliki sebuah mesin pencetak empat warna, sementara kebanyakan perusahaan di Jakarta hanya memiliki mesin pencetak dua warna. Mesin dengan keunggulan demikian telah menciptakan efisiensi waktu karena pencetakan dapat dilakukan sekaligus, tanpa harus menunggu untuk pemberian warna

selanjutnya secara bertahap. Untuk mesin ini, Multiharapan menginvestasikan dana sekitar US$6.500. "Salah satu kunci keberhasilan kami adalah adanya kerja sama tim seluruh karyawan, mulai dari desainer, printing, produksi, hingga pemasaran," ujar Steve. Contohnya, lanjut dia, kalau ada pesanan masuk, mereka bisa bekerja tanpa henti selama tiga hari dua malam meskipun dengan shift.

Ada satu hal yang diterapkan di Multiharapan, yaitu proses pembelajaran. Steve yang sudah lama tinggal di Inggris sengaja dilarang untuk menggunakan bahasa Indonesia di kantor. Pokoknya, untuk berkomunikasi dengan Steve, harus memakai bahasa Inggris, termasuk satpam dan office boy. Pada awalnya memang kelihatan lucu. "Bayangkan, office boy dan satpam harus berbahasa Inggris. Tetapi lama-kelamaan jadi makin fasih juga," ungkap Steve.

Pendapatan tertinggi yang pernah diraup Multiharapan mencapai Rp2,5 miliar pada akhir tahun 1997. Dan sekarang, di tahun 2001, Multiharapan bertekad untuk terus maju, terus berinovasi memunculkan dan memproduksi incentive gift dengan ide dan bentuk yang baru.

RM Sederhana

RM Sederhana yang Memberi Kemewahan

Rumah Makan

Berbekal catatan resep masakan Padang yang dia minta dari seorang juru masak, Bustaman berhasil mengembangkan RM Padang Sederhana dan bahkan sampai membuat waralabanya. Kini waralaba itu sudah sampai ke Malaysia. Untuk memayungi usahanya, Bustaman membentuk PT Sederhana Citra Mandiri serta mematenkan logo dan resep makanannya. Sayang tak satu pun anaknya berniat meneruskan usaha ini.

Lahir dari keluarga miskin dan ditinggal berpulang ke alam baka oleh ibundanya saat usia enam tahun, Bustaman kecil tak pernah membayangkan kehidupannya bakal seperti sekarang ini. Bisa naik haji dan bahkan menikmati liburan ke berbagai negara di Eropa. Ini dia akui jauh di luar mimpi-mimpinya.

Inilah buah yang dia nikmati dari keberhasilannya mengembangkan restoran Padang atau yang lebih akrab dikenal dengan rumah makan (RM) Padang bermerek "Sederhana". Di tangannya kini telah dikelola 15 RM Sederhana, sedangkan 15 restoran lagi berada di tangan pihak lain. Bahkan, untuk lebih memformalkan usahanya, kini Bustaman sedang membentuk badan usaha perseroan terbatas sebagai payung bagi seluruh restorannya. Itulah PT Sederhana Citra Mandiri (SCM). "Dengan membentuk perseroan terbatas ini, rumah makan saya ini akan bisa terkelola secara profesional," begitu harapannya.

Ibarat seorang pendaki, bagi Bustaman, PT SCM adalah puncak dari sejarah pendakiannya yang panjang, terjal, bahkan terkadang membahayakan jiwanya. Ia tidak mau menempuh jalan pintas yang ia sendiri tak menguasai ilmu dan tak memiliki pengalaman untuk itu. Maka sampai kapan pun, Bustaman telah berikhtiar akan tetap mengembangkan jalur bisnis rumah makan masakan Padang- nya.

Perjuangan Bustaman yang kini telah menyandang gelar haji ini dimulai ketika dia hidup dan tinggal bersama pamannya di Jambi selama lima belas tahun. Bustaman kecil yang lahir di Lintau, Batusangkar, Sumatra Barat, 60 tahun lalu itu sudah harus bekerja keras. Tak mau terlalu menyusahkan pamannya, Bustaman berusaha menghidupi dirinya dengan berjualan pisang goreng, menjadi kernet oplet, bahkan bekerja di kebun karet. Semua itu dilakoninya sebelum akhirnya ia hijrah ke Jakarta pada tahun 1970 dan tinggal bersama saudaranya yang bersuamikan seorang sopir taksi.

Dengan modal Rp27.000 Bustaman memulai usahanya di Jakarta sebagai pedagang asongan. Dengan tekadnya yang bagaikan "api nan tak kunjung padam", Bustaman mulai membuka usaha warung makan kecil-kecilan di atas sebuah gerobak di kawasan Bendungan Hilir. Di situ, Bustaman dan teman-temannya sesama pedagang kaki lima pun harus main kucing-kucingan dengan para petugas keamanan dan ketertiban (kamtib). Hingga akhirnya mereka terpaksa pindah tempat ke kawasan Roxy, yang sekarang dikenal dengan Roxy Mas. Tak lama di Roxy, lagi-lagi Bustaman harus mengungsi ke tempat lain, lantaran kawasan pedagang kaki lima ini pun dibongkar.

"Masa-masa itu adalah masa yang teramat sulit dan menuntut banyak pengorbanan. Tantangan bukan hanya dari petugas kamtib, tapi juga para preman yang kala itu bisa dianggap sebagai musuh utama para pedagang," kenang Bustaman.

Namun, bagi Bustaman, justru saat itu pula ada satu kenangan yang paling membekas dan paling tak terlupakan seumur hidupnya. "Sebelum pindah dari Roxy, saya sempat mencicipi masakan gulai dari warung makan Padang di sebelah warung makan saya. Rasanya enak sekali, jauh lebih enak dibandingkan masakan saya. Dan di suatu sore, saya dekati tukang masaknya, saya ajak kenalan. Dan ternyata orangnya sangat baik, ia mau menuliskan resep masakannya buat saya," tutur Bustaman, yang baru pulang dari perjalanan wisatanya ke sejumlah negara di Eropa. Setelah wawancara dengan Warta Ekonomi, Bustaman juga akan segera berangkat lagi ke Malaysia dalam urusan rumah makannya.

Bustaman pun tak lupa mengungkapkan kerinduannya pada orang yang memberinya resep itu. "Kalau bertemu dia, mungkin saya akan memberangkatkan dia untuk naik haji, atau memintanya sebagai penasihat saya," katanya mengungkap hasratnya. Soalnya, dengan bekal resep itulah, Bustaman, yang mengaku pada awalnya hanya bermodal kemauan saja, mulai tergugah untuk lebih menekuni usaha warung makannya.

"Saya olah lagi resep ini agar bisa dinikmati oleh semua orang, bukan hanya oleh orang Padang. Jadi, saya buat tidak terlalu pedas," papar ayah enam orang anak dan kakek dari enam orang cucu ini. Salah satu olahan resepnya yang kini menjadi masakan favorit para pelanggannya adalah "ayam pop", ayam goreng tanpa kulit dan tetap berwarna putih sesuai warna kulit ayam aslinya.

Resep-resep olahannya itu mulai ia gunakan ketika membuka warung makan permanennya yang pertama di Pasar Inpres Bendungan Hilir pada tahun 1974, yang ia beli dengan bantuan kredit dari sebuah bank. Seiring dengan berjalannya waktu dan berkat keuletannya, RM Sederhana telah "berkembang biak" hingga berjumlah 30 buah. Satu di antaranya berada di Surabaya. "Namun yang saya kelola sendiri ada lima belas.

Sisanya dikelola oleh keponakan-keponakan dan adik ipar saya," tutur Bustaman.

Namun, dalam ke-30 rumah makan itu belum termasuk RM Sederhana yang ada di Malaysia yang telah dibuka tahun ini. Bahkan, dalam waktu dekat, satu restoran lagi akan segera menyusul dibuka di negara yang sama. "Kedua rumah makan ini memang bukan milik saya. Yang satu punya orang Malaysia, dia yang kelola, saya cuma sediakan karyawannya. Selebihnya saya cuma mendapat fee dengan sistem waralaba. Satunya lagi punya keponakan saya," jelas Bustaman.

Khusus untuk rumah makan yang dikelolanya, Bustaman menerapkan sistem bagi hasil yang biasanya dibagikan setiap tiga bulan sekali. Inilah yang menurutnya menjadi kunci loyalitas 300 orang karyawannya yang juga telah ikut merasa memiliki usaha ini.

Sayangnya, Bustaman tak mau mengungkapkan omzet usahanya sekarang. "Cuma kalau omzet harian setiap rumah makan saya, kurang lebihnya dua sampai tiga juta rupiah," akunya. Bustaman yakin, usahanya ini tak akan lekang oleh waktu dan gaya hidup masyarakat kita yang mulai dibanjiri oleh makanan fast-food dari luar negeri.

"Makanan sejenis itu kan hanya makanan ringan, makanan kecil yang hanya dinikmati sambil berekreasi, bukan makanan pokok yang memang dimakan pada waktunya kita makan," tegas Bustaman.

Yang dirasakan oleh Bustaman saat ini justru tantangan dari dalam, yaitu banyaknya "RM Sederhana" di mana-mana, yang kebanyakan dimiliki oleh mantan-mantan karyawannya sendiri. Yang dikhawatirkan oleh Bustaman adalah adanya "RM Sederhana" yang rasa masakannya "tak karuan". Dia khawatir hal itu akan merusak citra dan kesetiaan pelanggan rumah makannya.

Soal lainnya adalah regenerasi. "Hampir tak ada usaha rumah makan Padang yang mampu bertahan sampai dua generasi. Anak saya sendiri tak ada yang berminat terjun di usaha ini," ujar Bustaman miris. Ia pun menyebutkan sejumlah nama restoran Padang yang sempat populer beberapa tahun lalu.

"Untuk itulah, atas saran teman-teman, saya buat PT SCM ini. Dengan usaha yang sudah berbentuk badan hukum, saya akan bisa 'menertibkan' semuanya ini. Tujuan lainnya, agar kita siap menghadapi perdagangan bebas dan era globalisasi," tegas Bustaman, yang juga mengaku ikut senang jika ada koki atau bekas juru masaknya sukses membuka usaha warung makan sendiri.

Lebih jauh, Bustaman juga mengungkapkan kalau dia telah mendaftarkan hak paten berupa logo, warna, dan gambar lengkung yang menjadi ciri khas RM Sederhana miliknya.

Puaskah Bustaman kini? "Saya mendirikan PT SCM ini dengan niat baik. Insya Allah, semuanya akan berjalan dengan baik. Dan saya tidak punya misi atau niat untuk terjun di bisnis lain, tanpa saya sendiri tahu ilmunya dan punya pengalaman di bidang itu. Apalagi umur saya sudah hampir 60 tahun," ujarnya. Dengan dibentuknya badan usaha resmi PT SCM, Bustaman menjadi yakin warisannya yaitu RM Sederhana akan lestari. Mungkin bukan diteruskan oleh anak-anaknya melainkan oleh orang lain yang telah mendapatkan lisensi waralabanya.

Ambisi

Berambisi Menjadi Walt Disney-nya Indonesia

Ia tak bisa menggambar tetapi ngotot memasarkan produk animasi yang di Indonesia belum banyak dikenal. Melalui perusahaan yang ia dirikan, Red Rocket Animation, Poppy Palele ingin jadi kampiun dunia animasi di Tanah Air.

Tidak pernah terbayang di benak seorang Poppy Palele kecil yang pemalu menjadi dirinya seperti sekarang. Bermodal nekat dan semangat tinggi, Poppy yang tidak pernah sekolah khusus animasi ini kini menjadi salah seorang di antara sedikit pelaku bisnis animasi terdepan di negeri ini. Melalui perusahaan yang ia dirikan sekaligus ia kelola, Red Rocket Animation, Poppy menjadi pebisnis yang sangat diperhitungkan di bisnis yang baru digeluti segelintir perusahaan ini. Siapa yang menyangka pula kalau Poppy sebenarnya justru tidak pernah bisa menggambar.

Riwayat entrepreneurship Poppy memang tergolong unik. Selepas SMA di Bandung, Poppy dikirim oleh orang tuanya ke Kanada pada 1984 untuk melanjutkan studi. Awalnya hanya protes yang ada di pikirannya. Namun ternyata didikan keras dan disiplin tinggi yang diberikan orang tuanya menjadi bekal utama bagi Poppy dalam melewati hidup. Mengaku menyukai bermacam- macam tipe manusia, menjadi alasan buat wanita yang lahir di Bandung ini memilih jurusan psikologi ketika studi di negeri orang. Setelah

menggondol gelar bachelor, Poppy memutuskan kembali pulang ke Indonesia. "Kacang tidak pernah lupa pada kulitnya," ujarnya.

Sesampainya di Indonesia, Poppy sempat bingung, "Mau ngapain saya?" Kemudian ada beberapa temannya dari sebuah televisi swasta yang memberi informasi bahwa dunia animasi dinilai sangat menjanjikan, tetapi masih sedikit orang yang mau menggelutinya. Kalaupun ada yang menerjuninya, sebagian besar adalah perusahaan periklanan. Apalagi saat itu, sekitar tahun 1992, ada dua televisi swasta yang menjadi lahan bagus dunia animasi. Walau begitu, Poppy sempat ragu karena di Indonesia bisnis animasi belum menjadi sebuah industri seperti di negara-negara besar lainnya semacam Amerika, Kanada, bahkan juga Jepang.

Memboyong Kawan-kawan

Poppy pun lantas berpikir, mengapa bukan ia sendiri yang menjadikan animasi dikenal dan makin maju di Indonesia? Akhirnya Poppy kembali terbang ke Kanada menemui teman-temannya. Dari sanalah dia kemudian "memboyong" beberapa pentolan animasi asal Kanada, AS, Belanda dan Selandia Baru yang mempunyai jam terbang tinggi dan biasa terlibat di proyek internasional ke Indonesia.

Setelah semua persiapan selesai, Poppy dengan dibantu tim kecilnya yang berjumlah 13 orang mendirikan Red Rocket Animation yang bermarkas di Bandung. "Dari awal saya memang ingin memajukan dunia animasi di Indonesia lewat Red Rocket," ungkapnya yakin. Sebagai pekerjaan awal adalah membuat animasi berdurasi pendek untuk iklan televisi, logo stasiun televisi, TV bumper dan juga animasi sebagai pembuka program televisi (program opening). Beberapa karya yang melekat dalam benak pemirsa adalah

iklan Cheetos, iklan RC Cola, maskot SCTV, program opening MTV land dan TV bumper untuk acara MTV. Karya yang masih fresh adalah program opening dan TV bumper Metro TV.

Setelah menyelesaikan animasi berdurasi pendek, Poppy sering mendapat tantangan dan "tekanan" dari orang-orang di sekelilingnya untuk membuat animasi berdurasi panjang. Namun Poppy cukup hati-hati jika ingin mencoba sesuatu yang baru. Apalagi untuk animasi semacam itu dibutuhkan tim yang lebih besar.

Namun ternyata Poppy harus menerima "nasibnya" untuk memproduksi program televisi berdurasi 30 menit. Hasil kerja kerasnya adalah serial dongeng Aku dan Kau yang disponsori oleh Nestle (produsen susu Dancow). "Luar biasa. Kami hanya biasa mengerjakan animasi dengan durasi 30 detik dalam waktu dua minggu, tetapi harus mengerjakan animasi durasi 30 menit untuk 13 episode dalam waktu satu tahun,"

ujarnya. Dengan kerja tim yang kompak, akhirnya terlewati juga satu tantangan. Sekarang Poppy sedang bersiap-siap menerima order baru lagi dari Nestle, melanjutkan 13 episode terdahulu.

Bagi Poppy, melakoni pekerjaan yang satu ini memang perlu idealisme tinggi. Itu sebabnya Poppy selalu menekankan kepada 60 anak buahnya untuk tidak cepat merasa puas. "Percuma kan kalau setahun atau dua tahun mereka 'dicekoki' segala sesuatu tentang animasi, kemudian karena mereka tidak tahan dan ingin gaji besar, mereka keluar," kata Poppy.

Menurut Poppy, dalam bisnis ini, model pemasaran yang agresif sangat dibutuhkan. "Animasi kan bukan barang nyata. Jadi kalau kami tidak rajin menanamkan product knowledge dan memasarkannya dengan sistem jemput bola, habislah kami," ujar wanita yang hobi bepergian ini.

Bekal iman yang kuat memang menjadi modal besar buat seorang tenaga pemasar seperti Poppy. Tidak jarang pada saat dirinya mengenalkan apa itu animasi ke sebuah perusahaan dan menawarkannya, kemudian ditanggapi berbeda. "Namun saya tetap cuek aja jualan. Saya sudah tahu dan siap dengan risiko seperti itu," kata wanita yang mengaku puas dengan segala yang dilakoninya saat masih lajang itu. "Saya selalu ada di peringkat lima besar saat SD dan SMP. Namun karena bandel dan suka bolos, di SMA saya

sudah terlempar jauh dari lima besar," ujarnya tergelak.

Berbagi dengan Suami

"Buat saya hidup itu yang penting happy," kata Poppy. Oleh karena itu, Poppy merasa sangat kesal jika seusai menonton film kemudian dia merasa sumpek dan menyesal. "Mending saya baca dulu resensinya biar nggak nyesel. Dan biasanya saya lebih memilih film bertema drama karena mempunyai pesan kehidupan yang bisa ditangkap. Daripada nonton Arnold (Schwarzenegger) berantem," katanya. Namun untuk menambah wawasan dan apresiasi seninya, hampir setiap film yang diputar di festival selalu ditontonnya, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

"Dalam hidup, saya selalu menggunakan konsep dan menganut keterbukaan," kata wanita yang tidak suka memasak ini. Dalam menata kehidupan rumah tangganya, Poppy membagi semua urusan rumah berdua dengan sang suami. "Kalau masalah taman rumah dan kain gorden, sudah pasti saya yang ngurusin, tetapi kalau instalasi rumah jadi tugas suami saya," katanya. Namun tidak tertutup kemungkinan Poppy berbagi tugas saat Lebaran tiba dan pembantu harus mudik. "Saya mau melakukan apa saja kecuali menyetrika. Saya benci banget," ujarnya sengit.

Poppy merasakan benar didikan disiplin yang ketat dari orang tua yang saat ini justru tinggal di Kanada bersama tiga saudaranya yang lain. Setiap hari Poppy sudah muncul di kantornya sebelum pukul 09.00.

"Dengan begitu saya bisa mengantisipasi apa yang harus saya kerjakan hari ini. Tentu saja ini bisa menjadi contoh buat anak buah saya yang kebanyakan masih muda," kata penggemar segala jenis musik ini. Kalau sedang melakukan pekerjaan, Poppy suka mendengarkan musik pop. Namun kalau sedang ingin sendirian, ia membaca dan mendengarkan musik klasik. Maka untuk amannya, Poppy mematikan telepon dan tidak

mau menerima tamu.

Mengaku pernah punya masalah dengan berat badan yaitu saat kuliah di Kanada, timbangan Poppy melonjak naik sampai 10 kg. Dia sempat melakukan diet secara membabi buta, tidak makan makanan yang mengandung karbohidrat, hanya menyantap sayur dan buah, tetapi tubuhnya masih tambun saja. "Bagaimana mau berhasil, wong setiap jam 12 tengah malam saya pasti bangun kelaparan. Dan saya sikat makanan lebih banyak dari porsi sebenarnya," katanya tergelak.

Karena serius ingin kembali ke berat idealnya, maka Poppy membeli buku panduan nutrisi. "Nggak enak kalau gendut. Rasanya gerak saya nggak bebas dan kerja juga tidak optimal," katanya. Namun sekarang Poppy tidak perlu berdiet lagi. Pasalnya, sejak membuka kantor cabang Red Rocket di Jakarta tiga bulan yang lalu, Poppy harus rela bolak-balik antara Jakarta dan Bandung naik kereta api--tiga hari di Jakarta dan tiga hari di Bandung.

Bermimpi Jadi Walt Disney-nya Indonesia

Jika ditanya tentang masa depan animasi di Indonesia, Poppy mengernyitkan dahi. "Masih jauh dari industri animasi yang seharusnya. Sulit sekali menjalankan dan mempertahankan animasi di Indonesia. Dalam industri animasi semua pelakunya harus work smart dan bukan work hard. Apalagi kalau terus memikirkan profit, wah, susah deh. Ditambah lagi televisi swasta lebih memilih mengimpor film dari Jepang daripada memproduksi sendiri," kata wanita yang tiap Idul Fitri selalu mengunjungi keluarganya di Kanada ini.

Sekarang Poppy memang sedang menikmati kerja kerasnya selama tujuh tahun terakhir, walau masih jauh dari apa yang menjadi impiannya, menjadi Walt Disney-nya panggung animasi Indonesia. Selain itu, hasil karyanya ditayangkan di stasiun televisi Asia Tenggara dan negara-negara daratan Eropa, serta dimuat di koran, majalah dan radio ternama.

Berbagai penghargaan pun berhasil diperolehnya, antara lain adalah penerima medali World Young Business Achievement 1999, sebagai nominator pada Festival Animasi Internasional di Los Angeles lewat tayangan teve komersial Rinso Bebas Banjir tahun 1997, juara Festival Animasi Asia lewat Keong Kecil dan Rumahnya, dan Nominator Festival Animasi Asia lewat Dongeng Kilip dan Putri Bulan tahun 1997, juga mewakili Asia Tenggara dalam Festival Animasi Asia di Jepang pada 1996.

Biarpun sekarang ini nama Poppy Palele sudah makin dikenal orang, Poppy enggan jika harus dianggap terkenal. "Saya lebih suka berada di belakang," ungkapnya. Mulanya Poppy sering diminta menjadi pembicara dalam seminar atau acara-acara bertema animasi, tetapi belakangan dia menolak. "Saya nggak suka bicara di seminar kemudian orang bertepuk tangan untuk saya," ujarnya.

Ada satu kebiasaan yang mungkin tidak pernah disadari oleh karyawannya, yaitu Poppy selalu "menghilang" pada hari ulang tahunnya. Karena terbiasa mempunyai jadwal yang padat, jadi nyaris tidak ada kecurigaan kalau Poppy tidak nongol, padahal semua karyawan di kantor sudah menyiapkan kue ulang tahun.

Namun tidak demikian halnya apabila Red Rocket yang merayakan ulang tahun. Kantor Red Rocket yang artistik pasti dihias ramai. Poppy bersama seluruh karyawannya selalu mengadakan piknik ke luar kota. Asyiknya lagi, perayaan tersebut berlangsung selama tujuh hari berturut-turut.

Itulah dunia seorang Poppy yang sedang mengejar impiannya, pelopor animasi di Indonesia.

Saya Mengidolakan Bung Karno

Saya Mengidolakan Bung Karno

D. RUSDIANTO ERAWAN

Besarnya arus keluar masuk pegawai di perusahaannya memberikan satu pelajaran buat Didi untuk lebih berhati-hati menjaga salah satu asetnya itu. Dengan Bung Karno sebagai tokoh idolanya, ia berusaha menjadi pemimpin yang jago berdiplomasi, jago mengelola perusahaan sekaligus juga dekat dengan stafnya. Berikut petikan wawancaranya dengan D. Rusdianto Erawan dari Warta Ekonomi.

Warta Ekonomi: Apa prestasi Anda yang paling membanggakan?Saya kira belum ada. Mungkin karena saya tipe orang yang perfeksionis dan tidak mudah puas.Kalau hal yang paling mengecewakan?Kalau software buatan kami tidak terpakai. Kadang kala kami sudah bikin, tetapi akhirnya tidak terpakaidengan alasan nonteknis.Apa yang Anda anggap lebih dan kurang pada diri Anda?Saya kira, kelebihan seseorang harus dilihat oleh orang lain. Kalau dilihat oleh diri sendiri akan kurang objektif. Kalau kekurangan saya, bisa dibilang saya ini perfeksionis sehingga akhirnya jadi kurang fleksibel.

Pernahkah Anda merasa melakukan keputusan yang paling baik?Pada waktu saya memutuskan untuk terjun di TI dibandingkan dengan menjadi pilot atau pegawai negeri.

Bagaimana dengan yang terburuk?

Saya rasa tidak ada keputusan yang buruk karena semua itu bagian dari proses dan pengalaman. Jika memang hasilnya buruk, ya merupakan pengalaman.

Apakah Anda mempunyai pengalaman yang tak terlupakan?

Mungkin ketika saya naik haji tahun 1997, saat itu cukup menyentuh. Dengan titel haji yang saya sandang,saya merasa harus lebih berhati-hati berbuat sehingga tidak bertindak hal yang buruk bagi orang lain.

Bagaimana perlakuan Anda terhadap karyawan?

Di Optima, arus keluar-masuk pegawai itu cukup tinggi karena mungkin mereka belum benar-benar hobi

atau sekadar cari pengalaman sampai-sampai ada yang membuat istilah "Ikatan Alumni Optima". Kami punya sekitar 50 karyawan tetap dan sekitar 250 pegawai yang kami pakai jika ada proyek. Yang 50 orang itu sangat saya jaga benar karena mereka adalah aset.

Kalau Anda dapat pindah ke dimensi lain, kira-kira mau menjadi apa?

Saya tetap ingin menjadi Didi Apriadi, tetapi saya berharap kondisi TI di Indonesia sudah mapan seperti di Amerika Serikat.

Untuk tokoh idolanya?

Idola saya Soekarno. Saya melihat visinya ke depan, bagaimana cara hidupnya, bagaimana dia dikagumi banyak orang, kemudian bagaimana cara dia menyatukan Indonesia.

Bisa dikatakan dia mewakili tiga orang. Jago untuk diplomasi ke luar, bisa untuk mengolah negara, dan dekat dengan rakyat.

Sampai saat ini, adakah cita-cita Anda yang belum tercapai?

Saya ingin membuat Optima menjadi salah satu perusahaan TI yang berkelas dunia.

SOP BUNTUT BU DJOKO

Dari Kafe Tenda Sampai ke Pasaraya

SOP BUNTUT BU DJOKO

Berasal dari keturunan ningrat, Bu Djoko sejak kecil adalah penikmat makanan lezat. Namun, ia tak banyak mengerti resep masakan. Sebuah "kecelakaan" ketika diminta membuatkan sop buntut oleh sang suami, mengubah segalanya. Kini ia memiliki Ningrat Coffee Shop di bandara, Kedai di Semanggi dan di Senayan.

Sejak kecil Raden Ajeng Ratna Haryani Suhadi selalu menikmati makanan lezat di rumahnya. Setiap hari bisa terhidang sampai enam macam makanan di meja makan. Sekalipun begitu, ia hanya diizinkan untuk menyantap tanpa pernah diajari cara membuatnya. "Kalau kamu pintar, kamu tak perlu ke dapur, cukup membayar pembantu," kata wanita yang punya sapaan akrab Bu Djoko itu, menirukan ucapan ibunya.

Itu sebabnya, masuk ke bisnis makanan merupakan hal di luar dugaan ibu dari dua putra ini. Awalnya adalah saat suaminya meminta dibuatkan sop buntut. Ia pun bingung, tetapi tak ingin mengecewakan suaminya. Lalu, "Saya masak dengan bumbu racikan sendiri. Tanpa saya cicipi dulu, langsung saya kasih ke suami," tutur Bu Djoko. Ternyata sop buntutnya tak mengecewakan. Dan, dalam banyak hal, Bu Djoko sendiri tak bisa menjelaskan dari mana keahlian yang sekonyong-konyong itu ia dapatkan. Baginya,

keahlian memasak ia dapatkan murni dari Tuhan karena, sampai sekarang, hanya dengan melihat saja maka Bu Djoko sudah tahu apa bumbunya.

Pada tahun 1970, Bu Djoko membuka kafe tenda di daerah yang sekarang ditempati Plaza Indonesia di Jakarta. Sayangnya, saat itu sudah banyak penjual sop kikil dan pengunjungnya lebih mengenal sop kikil ketimbang sop buntut. Karena itu, tidaklah mengherankan jika usaha pertamanya kurang sukses. Namun, Bu Djoko tak menyerah.

Peluang bisnis kemudian datang dari PT Garuda Indonesia pada tahun 1985. Saat itu terminal internasional yang belum selesai dibangun membutuhkan restoran makanan ringan. Restoran ini ditujukan untuk membantu Garuda melayani penyediaan makanan untuk penumpang yang menunggu, baik karena penerbangan terlambat maupun karena ada pesawat transit. Bu Djoko lalu membuat Snack Shop lewat kontrak dengan Garuda. "Omzet kami tergantung dari banyaknya pesanan saat penerbangan tertunda atau adanya penumpang transit," kata Bu Djoko yang menghabiskan Rp400 juta untuk pembangunan Snack Shop itu.

Ketika itu setiap harinya Bu Djoko disibukkan mengurus empat counter dengan total karyawan sekitar 30 orang. Counter itu tersebar di Gate 1, Gate 2, Gate 7, dan Gate 6. Maklum saja, saat itu frekuensi penerbangan Garuda cukup banyak. Ada yang ke Eropa, Singapura, Tokyo, Australia, dan Korea. Apabila pesawat itu hanya membutuhkan waktu transit satu jam, Bu Djoko hanya menyediakan minuman saja. Namun, kalau pesawat itu transit sampai dua jam, untuk mereka disediakan minuman dan makanan ringan sesuai menu yang mereka pilih antara bolu kukus, pisang goreng, atau sandwich.

Saat pesawat transit, Bu Djoko mendapat data jumlah penumpang dari pihak Garuda. Dari data itu, ia lalu menyediakan makanan dan minuman. "Pembayarannya dilakukan per dua minggu. Nilainya bisa Rp58 juta," kata Bu Djoko yang saat itu harus memperpanjang kontrak per tahun dengan Garuda. Di luar kontrak, Bu Djoko juga mendapat keuntungan dari penjualan bir. Dalam sehari ia bisa menjual ribuan botol bir yang sering dikonsumsi turis. "Pendapatan dari menjual bir sehari bisa untuk membeli satu mobil," kenang Bu Djoko.

Pada waktu itu (tahun 1985), setiap satu paket makanan ringan nilainya US$3 (US$1 = Rp1.100). "Saat itu minuman masih murah, jadi untung kami lumayan," kata Bu Djoko. Sayangnya, masa keemasan itu tidak berlangsung lama karena mulai tahun 1990 Garuda tidak lagi membayar dengan dolar. Pada saat pembayaran menggunakan rupiah, Bu Djoko mengalami kerugian karena nilai dolar makin tinggi.

Pada tahun 1992, karena pembangunan bandara sudah selesai, Bu Djoko dipindahkan ke terminal 2F yang telah selesai dibangun. Di tempat barunya ini, Bu Djoko tidak lagi mendapat izin menjual makanan ringan. Ia hanya mendapat izin menjual masakan. Karena itu, di tempat dengan nama Ningrat Coffee Shop ini ia menjual sop buntut, rawon, dan nasi tim ayam. Sekalipun sudah tidak menjual makanan ringan, ia masih

melayani pemesanan masakan dari Awair untuk setiap adanya penerbangan yang tertunda. Namun, kini pemasukan utama Bu Djoko tidak lagi dari penumpang yang mengalami keterlambatan penerbangan atau transit. Mereka lebih banyak mendapat keuntungan dari penumpang pesawat. "Dalam sehari, untuk domestik saja bisa melayani untuk puluhan pesawat," kata Bu Djoko.

Karena tidak diizinkan memasak di area bandara, Bu Djoko harus memasak dari rumah. "Saya dengan tujuh pembantu memasak setiap pagi karena jam empat pagi sudah harus sampai di bandara," ujarnya. Masakan itu nantinya diantar dengan memakai taksi atau bus Damri. Hal itu dilakukan untuk menghemat biaya operasional. "Kalau dengan mobil sendiri, kami harus keluar uang membayar sopir dan perawatan mobil," ungkapnya. Proses memasak makanan sudah dimulai sejak pukul dua pagi. Sepagi itu, pembantunya sudah membawa barang belanjaan untuk kemudian mulai memasak. Masakannya terdiri dari nasi goreng, bubur ayam, bakso, sop buntut, rawon, dan nasi tim ayam. Agar rasanya tetap terkontrol, Bu Djoko sendiri turun langsung meramu bumbunya. Sementara itu, untuk menjaga loyalitas karyawan, Bu Djoko memberi insentif yang cukup besar, bahkan terkadang lebih besar dari gaji bulanan mereka. "Gaji untuk koki saja sekitar Rp1 juta," kata Bu Djoko.

Dari berbagai penumpang pesawat yang singgah di Ningrat Coffee Shop, cukup banyak yang menyarankan dirinya untuk membuka cabang di luar bandara. "Anak saya lalu mengusulkan untuk membuat kafe," ujarnya. Bu Djoko lalu membuat kafe dengan nama Kedai 1 Bu Djoko, di pintu selatan Senayan dengan investasi sekitar Rp40 juta untuk membeli tenda, kursi, dan peralatannya. "Sewa tempatnya Rp300.000 per bulan," tambahnya. Ternyata investasi itu tak seberapa dibandingkan keuntungan mereka saat itu. Penjualan sehari bisa mencapai Rp10 juta. Kalau dilihat dari jumlah porsi yang terjual di tempat ini, dalam sehari laku 250 sampai 300 porsi. Penjualan terbesar mereka adalah untuk sop buntut, yaitu sekitar 80 porsi, dengan harga Rp10.000 per porsi. "Kami yang pertama buka 24 jam di sana," tambah Bu Djoko. Lalu karena digusur, kafe mereka pun terpaksa pindah ke pintu timur Senayan. Kepindahan ini disesalkan Bu Djoko karena ia kehilangan beberapa pelanggannya. "Padahal kami sudah memiliki izin resmi," kenang Bu Djoko. Pindah ke Parkir Timur Senayan, penjualan pun mulai mengalami penurunan. "Maklum saja, di sana banyak pedagang kaki lima dan tak semua pelanggan tahu saya pindah," kata Bu Djoko. Untungnya, saat ini, kelompok pencinta mobil Mercy dan Honda Tiger sering memakai kedai miliknya untuk tempat "nongkrong". Merasa masih bisa mengembangkan usahanya, Bu Djoko lalu membuat satu kedai lagi di Semanggi. "Sewanya lebih mahal dari di Senayan, sekitar Rp3,5 juta per bulan," ujarnya. Berbeda dengan di Senayan, di sini sop buntut dijual dengan harga Rp16.000, sementara minuman racikan harganya Rp10.000.

Uniknya, sekalipun kedua putra Bu Djoko telah jadi pengusaha sukses, mereka terkadang ikut melayani pembeli. Ade, anaknya, bahkan meramu beberapa minuman khas yang kini memiliki peminat tetap. Di antaranya, Bananakolada, yang terbuat dari pisang. Mengenai visi ke depan, dalam waktu dekat ini Bu Djoko berencana membuat restoran dua lantai untuk kalangan menengah-atas di Pasaraya. Nilai investasinya sendiri mencapai Rp2 miliar. "Mungkin harga sop buntut di sana bisa mencapai Rp45.000 per porsi," katanya.

Kendatipun sudah lumayan sukses, Bu Djoko mengaku tak ingin menjadikan sop buntut buatannya sebagai bisnis waralaba. Ia mengaku pernah diajak kerja sama untuk membuat waralaba di Kuala Lumpur dan Hong Kong, tetapi semua itu ia tepis. "Saya tidak ingin mewaralabakan resepnya, tapi pengelolaan kafenya," kata Bu Djoko. Dengan begitu, menurut dia, cita rasa kafe dengan label Bu Djoko akan selalu sama.

Jalan Terang Dalam Dunia Pertanian yang Suram

Ia menemukan jalan terang dalam dunia pertanian yang suram.

Resepnya?

Yang penting istiqamah.

Cerita soal petani tidak semuanya mengenaskan. Ada pula yang menggembirakan, bahkan membanggakan. Tengok saja H Bambang Sumadji HS, petani dari Desa Pelem, Kecamatan Pare, Kediri Jawa Timur. Ia dikenal sebagai petani sukses. Bayangkan, sebulan ia bisa meraup omset Rp 50 milyar!

Memang hasil itu tidak semuanya diperoleh dari hasil pertanian, melainkan juga dari pabrik dan bank. Namun pertanian, utamanya bawang merah dan cabe, tetap menjadi basis utama usaha pria berumur 49 tahun itu.

Sosoknya sebagai petani yang sukses, sangat dikenal luas. Cobalah tanya kepada pedagang di pasar Pare, hampir semua mengenalnya. "Kalau sampean (Anda) ingin informasi lengkap soal bawang merah dan cabe, tanya saja langsung kepada Pak Haji Bambang, karena dia sudah dikenal luas sebagai petani yang sukses dan banyak mensuplai pasar lokal maupun luar daerah," ujar Muhammad Abdullah Zaman (55) maupun Musni (60), pedagang bawang merah di pasar Pare.

Kisah suksesnya dimulai tahun l977. Saat itu, ia mengambil kredit dari Bank BNI sebesar 1,5 juta. Uang itu digunakan menanam bawang merah di atas lahan sewaan seluas 1 hektar. Hasilnya ternyata sangat baik. Sekali panen 7 ton, dijual dengan harga Rp 150 per kilogram (sekarang Rp 6.000). Dalam satu tahun ia bisa panen tiga kali. Itu artinya ia meraup hasil 3,15 juta rupiah.

"Dari keuntungan itulah sedikit demi sedikit saya mengembangkan pertanian brambang (bawang merah)," ujarnya. Ia tidak hanya memenuhi permintaan pasar lokal, tapi juga memasok ke daerah Indonesia Timur.

Kini protolan tingkat III Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya ini memiliki lahan 200 hektar, tersebar di Sukomoro Nganjuk dan Sidowarek serta Plemahan, keduanya di Pare. Tidak cuma bawang merah, Bambang juga menanam cabe seluas 25 hektar di desa Pelem, Pare.

Dari total lahan pertaniannya itu, ia biasa mengusung 28 ribu ton bawang merah, dua kali panen. Sedang cabe merah, satu hektar menghasilkan 20 ton. Hasil totalnya mencapai 500 ton per tahun.

Ironisnya, meski hasil panen bawang merahnya mencapai ribuan ton, sekarang Bambang tak sanggup lagi mensuplai ke kota-kota Indonesia Timur dan beberapa kota besar di Jawa. Bukan lantaran di kota-kota itu sedang dilanda kerusuhan, atau hasil panennya menurun drastis, melainkan untuk kebutuhan sendiri saja, katanya, ia merasa kewalahan.

Sejak tahun l991, Bambang memang tak lagi menjual bawang merah mentah. Dikemas dengan merek Bagindo, brambang itu digoreng kemudian dilempar ke pasar. "Setiap hari saya membutuhkan pasokan 150 ton brambang mentah," mantan Pengurus Cabang Pelajar Islam Indonesia (PII) Pare itu menjelaskan kebutuhan pabriknya. Melibatkan 150 karyawan dengan gaji rata-rata Rp 500 ribu/bulan kecuali pegawai kantor Rp 750 ribu sampai Rp 1 juta --tiap bulan Bambang menghasilkan 30 ton brambang goreng.

Dengan merek yang sama, selain brambang goreng, pria kelahiran Pelem, Pare, Kediri ini juga memproduksi sambal pecel. Dengan tenaga 50 orang, ia menghasilkan 30 ton sambal pecel per bulan. Untuk produksi sebanyak itu, setiap hari diperlukan pasokan 1 ton kacang tanah.

Untuk memperlancar distribusi hasil pertanian dan pabriknya, pria yang ramah ini menyediakan 20 unit armada angkutan jenis L-300.

Sukses di pertanian dan makanan, mantan pengurus Muhammadiyah Pare ini merambah dunia perbankan. Tahun 1990 ia mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) 'Agro Cipta Adiguna'. Sama dengan usaha pertanian dan makanan, BPR-nya juga sukses. Bahkan pernah terpilih sebagai BPR terbaik tingkat nasional, Desember tahun lalu.

Istiqamah

Sejak kecil Bambang memang sudah terdidik oleh lingkungan keluarganya yang memang petani sekaligus pedagang hasil-hasil pertanian. Ia juga mengaku dapat "ongkos jalan" dari orang tua. "Tapi kecil-kecilan lho, mas", katanya. Ia tidak mau menyebut berapa angka yang dimaksud kecil-kecilan itu.

Tapi yang lebih bernilai, menurutnya, secara langsung orang tuanya sering melibatkan dirinya dalam kegiatan jual beli hasil pertanian. Bila ada diskusi-diskusi usaha maupun transaksi, ia kerap dilibatkan. Dari situlah feeling bisnisnya diasah. Kiat menangkap peluang dan kesempatan diperolehnya dari situ.

Tapi seperti kata dia, dari semua terori-teori praktis yang diajarkan kedua orang tuanya, yang paling memberi arti bagi karir bisnisnya adalah amanah atau dapat dipercaya. "Amanah jauh lebih penting dari modal itu sendiri." katanya. "Modal besar tanpa diiringi amanah bisa jeblok (bangkrut)," tambah ayah empat anak, masing-masing Anton Kusuma Pribadi (23), mahasiswa semester akhir STIE YKPN Jakarta, Diah Ratna Kusumawati, mahasiswa semester I STEI Yogyakarta, Diah Ratih Kusumawati (14), pelajar SMU Muhammadiyah II Yogyakarta dan Yudha Arief Kusuma Pribadi (11), pelajar SD kelas VI SDN I Pare.

Menekuni usaha pertanian, menurut putra kedua dari lima bersaudara ini, resepnya sama saja dengan usaha lain. "Yang penting istiqamah," katanya. Soal jatuh bangun, itu hal biasa dalam usaha. Seiring perjalanan waktu, bila istiqamah, seseorang bakal menemukan 'jalannya'.

Bambang sendiri pernah nyaris bangkrut. Kejadiannya tahun l994, ia gagal panen karena faktor alam. Kerugian yang ditanggung mencapai Rp 1 miliar lebih. "Saat itu saya benar-benar minus. Bila dihitung antara hutang dan jumlah aset, lebih banyak hutangnya," aku pria yang juga memimpin sejumlah yayasan, seperti Yayasan 4 Mei Pare, Apindo (Assosiasi Pengusaha Indonesia), dan Persatuan Penggilingan Padi Kabupaten Kediri.

Sejak peristiwa itu ia seakan disentakan pada sebuah kenyataan, sepintar-pintar manusia merencanakan, tetap Allahlah yang menentukan. "Di situlah pentingnya kedekatan kepada Allah," katanya mengambil pelajaran, "Saya perlu memperbaiki pengabdian saya."

'Cubitan' Tuhan itu kian menyadarkan Bambang Sumadji untuk berkiprah lebih banyak dalam kegiatan sosial dan keumatan. Setiap tahun Bambang mengeluarkan 15% zakat usahanya dari laba bersih sebesar 500 - 700 juta rupiah. Dana zakat tersebut disalurkan kepada para bekerja pabrik, lembaga-lembaga sosial, serta buruh tani di lingkungan perusahaan.

"Sebagai koordinator Kopermas (Koperasi Peran Serta Masyarakat) se-eks karesidenan Kediri dan Madiun, saya punya tanggung jawab memberdayakan ekonomi petani," ujar Bambang.

Untuk mewujudkan impian itu, Bambang ditarik oleh lembaga swadaya masyarakat PPM (Pusat Peran Serta Masyarakat) Jawa Timur. Lembaga ini berfungsi, di antaranya, ebagai penyalur KUT (Kredit Usaha Tani), pengadaan pangan, penyediaan saprodi (sarana produksi padi), serta menampung hasil panen. "Kami sudah mendapat kepercayaan perbankan untuk menyalurkan KUT," papar ketua Departemen Bisnis ini.

Masa mendatang, ia optimis prospek pertanian sangat cerah. Kalau selama ini dunia pertanian suram, karena memang sistem perniagaan pertanian yang dikembangkan Orde Baru menjatuhkan harga. "Harga-harganya sangat tidak menarik buat petani," tambahnya. Yang terjadi kemudian, bukan saja pertanian tidak berkembang, tetapi juga banyak petani yang meninggalkan tanah garapannya. Mereka lebih memilih mengadu nasib ke kota-kota besar.

Tetapi berkat reformasi, katanya, harga-harga hasil pertanian sekarang mengikuti harga internasional. "Nah, sekarang saatnya kembali ke pertanian," kata Bambang yang tahun ini mendapatkan penghargaan The First Asia Executive of the Year.

Kisah Raja Akuarium

"Raja Akuarium" Bermodal Coba-coba

Anton Saksono

Dari belajar secara otodidak, Anton Saksono mampu membuat speedboat, terowongan bawah laut, akuarium di TMII, dan berbagai akuarium raksasa. Kini ia meneruskan keahliannya kepada anak bungsunya lewat PT Lovina Laras.

Kecintaan Anton Saksono pada dunia satwa tak perlu diragukan lagi. Di rumahnya ia mengoleksi beberapa burung, ikan, dan musang yang terbilang langka. Sejak kecil ia memang berada di tengah keluarga yang suka akan satwa. Kecintaan pada satwa itu bahkan membuat Anton rajin ikut dalam berbagai perhimpunan satwa. Di antaranya menjadi presiden Perhimpunan Anjing Ras Indonesia, pendiri South East Asia Zoo

Association, dan pendiri Perhimpunan Langlang Buana Merpati Pos. "Semua itu tak ada duitnya, tetapi saya senang berkumpul dengan teman sehobi," ungkap Anton.

Sekalipun suka akan satwa, Anton tidak bekerja di dunia satwa. Saat masih menjadi orang kantoran, Anton biasanya menangani HRD. Ia, misalnya, pernah bekerja di United International Plastic, Pfizer Indonesia, dan terakhir di PT Gunung Agung, sebagai manajer HRD. Akhirnya Anton memutuskan untuk berhenti. Anton mengaku tak ingin selamanya menjadi "kuli". "Sudah saatnya berusaha sendiri," ujarnya.

Anehnya, ketika mencoba menjadi entrepreneur, pilihan Anton bukan ke dunia satwa. Ia malah menjadi produsen speedboat. Alasannya, bisnis ini masih jarang dilirik orang, padahal harga produknya lumayan tinggi. Walau belum berpengalaman, Anton tidak meminta bantuan ahli fiber, ia hanya dibantu tiga orang saja. "Saya baca berbagai buku tentang bagaimana membuat speedboat. Agar paham, saya membeli satu speedboat dan membongkarnya," kata Anton. Dari cara otodidak itu, lahirlah speedboat berkapasitas 30-an orang dengan harga ratusan juta rupiah. "Selesai bikin satu kapal, bisa istirahat beberapa bulan," ujar Anton, yang mengaku pernah mendapat pelanggan orang Brunei.

Keberhasilannya membuat kapal sempat dikomentari oleh seorang dosen IPB. "Saya dibilang seperti malaikat. Tanpa belajar bisa bikin speedboat dengan kualitas baik," ungkapnya. Sayangnya, sekalipun sempat sukses, bisnis speedboat terpaksa ia hentikan. Maklum saja, saat itu bahan baku yang diimpor dari Amerika, harganya membubung tinggi. "Dolarnya naik cukup tinggi, sulit bagi saya meneruskannya," kata Anton.

Saat itulah Anton kembali teringat akan dunia faunanya. Kesukaannya pada ikan hias membuat dia berniat menjual ikan hias dan akuarium. Namun, Anton tak ingin menjual akuarium biasa. Ia berniat membuat akuarium raksasa. Ide pembuatannya ia dapat dari pemandangan danau. "Saya ingin suasana danau ada di akuarium, sehingga seperti danau yang dilihat dari kaca." Mengenai isi akuarium itu sendiri, Anton membatasi hanya pada ikan air tawar. "Saya tak ingin menjual ikan laut karena bisa merusak lingkungan."

Bersamaan dengan itu, Anton berniat pula menjadikan ikan hias sebagai koleksi satwa di kebun binatang. Namun, karena merasa idenya tak ditanggapi, Anton lalu mencari tempat lain. Waktu itu Taman Mini Indonesia Indah (TMII) menjadi pilihannya. Idenya disambut baik oleh Ibu Tien (almarhum). Untuk mengegolkan proyek bernilai US$6,5 juta itu, ia pun membuat akuarium besar di rumahnya sebagai contoh. "Pembuatan akuarium di rumah saya menghabiskan puluhan juta rupiah," ujarnya. Akhirnya, setelah

melakukan pendekatan selama lima tahun, proyek pembuatan pun diserahkan ke tangannya. "Upah saya tidak banyak, hanya US$500 ribu," ujar Anton, yang sempat diutus oleh Soeharto ke Jerman sebagai diplomat satwa.

Keberhasilannya itu menjadikan Anton populer di kalangan pencinta ikan hias. Sekitar 50 akuarium besar pernah ia buat. Akuarium buatannya tersebar di Jakarta, Bali, dan Melbourne, Australia. "Minimal Rp100 juta untuk pembuatan satu akuarium ukuran 2x6 meter, ini sudah termasuk ikan hias," ujarnya. Harga itu akan bertambah kalau ikan yang diminta adalah jenis arwana merah. "Harga ikan ini bisa sampai Rp40 juta seekor," ujar Anton yang pernah mendapat order senilai Rp500 juta ini. Kalau dilihat dari harganya, sudah tentu peminat akuarium Anton berasal dari kelas atas. Karya besar Anton lainnya adalah akuarium yang ia buat di guest house Soni Harsono, Nusa Dua, Bali. Anton menaruh akuarium sepanjang beberapa puluh meter di langit-langit rumah itu. "Kalau biasanya kita lihat tubuh ikan, di sini yang dilihat pantat ikan," ujarnya sambil tertawa.

Tidak hanya itu, Anton juga mampu membuat terowongan di bawah laut. Terowongan itu berada di Pulau Putri, Kepulauan Seribu. "Dana yang dihabiskan sebesar Rp1 miliar," kata pria yang mengaku selalu ingin spektakuler ini. Pembuatan terowongan itu terbilang sulit. Sekalipun begitu, Anton mengaku tidak memakai teknisi ahli. "Terowongan itu diberi beban 300 ton lalu dicelupkan di laut," ujar Anton, yang mengaku semuanya ia kerjakan dengan modal coba-coba.

Bersamaan dengan lancarnya bisnis akuarium, Anton juga menjalin hubungan ke luar negeri lewat PT Lovina Laras miliknya. Pelanggan tetap berasal dari Amerika dan Eropa. "Saya menjual ikan jenis rainbow, kongu tetra, dan sebagainya. Harganya sekitar Rp3.000 per ekor, tetapi saya tak melayani pembeli lokal." Setiap minggu, kedua negara itu memesan sekitar 40 boks ikan dengan nilai US$7.000. Harga itu hanya untuk nilai ikan. "Ongkos kirim mereka yang tanggung," kata Anton.

Agar tidak ditipu, Anton selalu meminta pembayaran di muka. Untuk memudahkan komunikasi, ia melayani pemesanan via internet. "Kini banyak yang memesan lewat website www.lovinalaras.com," katanya. Perusahaan ini ia dirikan tiga tahun lalu di lahan seluas 6.000 m2 di Cibubur. "Saat itu investasinya Rp1 miliar," tambah Anton.

Melihat anak bungsunya berminat pada bisnis ikan hias, Anton pun menyerahkan PT Lovina Laras kepada

putranya itu. "Dia tamatan D3 perikanan di IPB," kata Anton. Agar bisnis berjalan lancar, Anton tetap memantau perusahaan miliknya. "Ikan hias sangat sensitif. Dalam satu malam bisa mati semua, jadi harus hati-hati," ujar Anton, yang namanya dipakai sebagai nama ikan oleh scientist.

Demi kepuasan pemesan, Anton memberikan garansi bahwa ikan akan diganti kalau mati dalam pengiriman. "Terhitung 24 jam setelah ikan diterima pemesan, kalau ikan itu mati, saya tanggung jawab," ujarnya. Mengenai biaya perawatan ikan di lahan miliknya, ia mengaku tak banyak mengeluarkan uang untuk itu. Bahkan karyawannya pun hanya enam orang. "Ikan mudah mati kalau terlalu kenyang," ujar pria kelahiran Solo, 7 April 1939 ini. Untuk memudahkan penjualan, Anton memisahkan setiap jenis ikan dalam

tiga tempat, yaitu ikan kecil, sedang, dan besar.

Tidak semua ikan ia ternakkan sendiri. Ikan yang terbilang sudah umum dan tidak terlalu mahal, ia pesan dari peternak lain. "Saya hanya menernakkan ikan aneh seperti blindfish dari Meksiko, bikardi dari Amerika Selatan, dan lelepi dari Afrika," ujar Anton. Menurut dia, harga ikan-ikan itu bisa mencapai puluhan ribu rupiah per ekor. Belakangan ini Anton juga menjalin kerja sama dengan Kebun Binatang Ragunan, yang ingin dibuatkan akuarium besar.

Google